Minggu, 06 September 2015

Alat musik bambu angklung

      
alat musik bambu angklung

        Alat musik bambu angklung. Angklung adalah alat musik tradisional yang terbuat dari dua tabung bambu yang ditancapkan pada sebuah bingkai yang juga terbuat dari bambu. Tabung-tabung tersebut diasah sedemikian rupa dan menghasilkan nada yang beresonansi jika dipukulkan. Dua tabung tersebut kemudian ditala mengikuti tangga nada oktaf. Untuk memainkannya, bagian bawah dari bingkai ini dipegang oleh satu tangan, sementara tangan yang lain menggoyangkan angklung secara cepat dari sisi kiri ke kanan dan sebaliknya. Alat musik ini akan menghasilkan nada yang berulang. Dibutuhkan sebanyak tiga atau lebih pemain dalam satu permainan angklung, untuk menghasilkan melodi yang lengkap.
Angklung sudah populer di seluruh Asia Tenggara, tapi sesungguhnya berasal dari Indonesia dan telah dimainkan oleh etnis Sunda di Provinsi Jawa Barat sejak zaman dahulu.
Kata “angklung” berasal dari dua sukun kata “angka” dan “lung”. Angka yang berarti “nada”, dan lung berarti “putus” atau “hilang”. Jika disatukan menjadi “nada yang terputus”.

Sejarah angklung 

 Pada era Hindu dan Kerajaan Sunda, Jawa Barat, angklung memegang peranan sangat penting pada beberapa upacara ritual masyarakat Sunda didalam kehidupan sehari-hari. Sebagai perantara dalam ritual, angklung dimainkan untuk menghormati Dewi Sri, yaitu dewi kesuburan, dengan harapan supaya negeri dan kehidupan mereka dapat diberkati. Menurut Kidung Sunda, alat musik ini juga digunakan oleh Kerajaan Sunda alat musik ini digunakan juga untuk penyemangat dalam situasi pertempuran di Perang Bubat.
Angklung tertua yang masih ada sampai saat ini ialah Angklung Gubrag. Angklung ini dibuat pada abad ke-17 di Jasinga,Bogor. Pada saat ini, beberapa angklung dari zaman dahulu masih tersimpan dengan baik di Museum Sri Baduga, Bandung.
 Angklung telah menarik banyak perhatian di dunia internasional. Pada tahun 1938, Daeng Soetigna, dari Bandung, berhasil menciptakan angklung yang berdasarkan tangga nada diatonik, alih-alih menggunakan tangga nada tradisional pélog atau saléndro. Sejak saat itu, angklung digunakan untuk tujuan pendidikan dan hiburan, dan juga bahkan dapat dimainkan bersama dengan alat-alat musik Barat dalam orkestra. Salah satu penampilan angklung dalam orkestra yang sangat terkenal ialah pada Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Udjo Ngalagena, seorang murid dari Daeng Soetigna, membuka “Saung Angklung” (Rumah  Angklung) pada tahun 1966 sebagai pusat pengembangan angklung.
 UNESCO menetapkan angklung sebagai karya budaya tak benda dan warisan budaya dunia. pada tanggal 18 November 2010. Di samping itu, UNESCO menyarankan dengan sangat kepada Indonesia untuk senantiasa menjaga dan melestarikan karya dan warisan budayanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar